Balitbangda Papua Barat Gelar Whorkshop dan FGD Topik Perhutanan Sosial, Hutan Adat serta Reforma agraria
MANOKWARI- Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat menggelar “Workshop dan FGD, Mewujudkan Hutan Sosial, Hutan Adat dan Reforma Agraria Konteks Sosial Papua, 8–9 Februari 2021.
Perlu diketahui bersama bahwa Paris Agreement yang disepakati oleh 197 negara termasuk Indonesia pada Tahun 2015 di Paris, telah
menegaskan pentingnya peran dari masyarakat adat dan masayarakat lokal dalam konteks pengendalan perubahan iklim.
Sejak saat itu, Konferensi Internasional perubahan iklim membahas bagaimana perkembangan peran masyarakat adat dan masyarakat lokal yang dimasukkan dalam agenda IPLC platform (Indigenous People and Local Community).
“Di Indonesia sendiri dan khususnya di Tanah Papua, terdapat beragam kearifan lokal, pengalaman, perspective, best practice dan inovasi lokal yang dapat berkontribusi terhadap upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Governor Climate Forum dan EcoNusa bersama Pemerintah Daerah mendorong peran kekayaan budaya lokal tersebut,” Ucap Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat, Prof. Dr. Charlie D. Heatubun.
Peran IPLC di Indonesia sangat penting terkait dengan program pemerintah berupa reforma agraria dan peningkatkan kualitas pelaksanaan perhutanan sosial terutama skema hutan adat. Negara-negara yang memiliki hutan tropis di dunia secara domestik membentuk Steering Commite IPLC.
Telah diberitakan sebelumnya, tepatnya tanggal 7 January 2021 lalu, Presiden Republik Indonesia sudah menyerahkan SK Perhutanan Sosial, Hutan Adat dan Pelepasan Kawasan Hutan untuk redistribusi tanah di 31 Provinsi.
“Berdasarkan laporan Ibu Menteri LHK, Ibu Siti Nurbaya diketahui bahwa capaian perhutanan sosial di Provinsi Papua Barat seluas 65,000 ha untuk dikelola oleh 7,240 KK sedangkan Papua hutan sosial 81,000 ha yang diklaim dikelola oleh 3,040 KK. Serta Alokasi redistribusi tanah untuk TORA di Papua Barat 15,600 ha sedangkan di Papua adalah 271,100 ha. Ada gap besar karena dari progress tersebut kelihatan tidak ada skema untuk hutan adat di tanah Papua. Sekalipun secara sosial tanah Papua selama ini diketahuimerupakan tanah adat milik masyarakat adat,” Sambung Profesor termuda di Tanah Papua itu.
Sehubungan dengan hal tersebut, EcoNusa bekerjasama dengan anggota Steering Commite IPLC dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat melalui Kelompok Kerja Fasilitasi Perhutanan Sosial dan Hutan Adat serta GCF Indonesia berinisatif untuk melaksanakan lokakarya dan diskusi tentang kebijakan Perhutanan Sosial, Hutan Adat dan Reforma agraria.
“Selanjutnya melaksanakan diskusi terfokus
antara Steering Commite IPLC di Papua Barat dan Papua, menyusun strategi asistensi dan dukungan pada percepatan implementasi kebijakan perhutanan sosial hutan adat dan reforma agaria yang sesuai dengan konteks di Tanah Papua,” Tandasnya. [kpb_01]